ima{jin}arium


Menikah. Aku tak pernah membayangkan untuk menikah dalam usia muda. Terlalu banyak mimpi yang ingin kukejar sebelum semuanya terjadi.

Tapi, kini aku mulai memikirkan hal itu setelah minggu kemarin Ibu memanggilku pulang ke rumah. Obrolan di meja makan dengan Ibu, membuatku tersentak—kaget.

"Nak, kapan mau menikah? Kenapa belum mengenalkan calonmu?" Pertanyaan itu serasa dentuman meriam yang menghantam gendang telingaku. Telak. Aku hanya tersenyum keki.

"Sabar, Bu. Nanti aku kenalkan ya.." dengan nada pelan.

Selama ini, aku memang tak pernah mengenalkan seorang gadis pun. Berkali-kali berpacaran dan selalu gagal. Meski setiap kali punya pacar, aku selalu serius dan mengajaknya menikah. Bagai antrian mereka pun mundur teratur. Penyebabnya beragam, ada yang hanya sekedar having fun, larangan keluarga, sampai ada pula yang selingkuh.

Menjalin hubungan memang tak mudah. Layaknya tanaman, butuh perhatian ekstra. Ada saat dimana mesti disiram agar tak layu. Dipupuk biar lebih subur. Juga sesekali menyiangi rumput-rumput yang merambat disekelilingnya.

***

Sebenarnya, sekira setahun ini aku memiliki hubungan dengan seorang diseberang sana. Nan jauh dimata. Kami berkenalan tak sengaja melalui dunia maya. Sejak saat itu kami sering chating dan saling bertanya kabar masing-masing. Dunia maya terlalu terbatas dalam ketakterbatasannya. Aku meminta nomor ponselnya agar bisa lebih intens berkomunikasi.

Hubungan kami kian hari semakin akrab. Kami berkirim pesan bagai minum obat bahkan lebih. Bercerita satu sama lain tentang apa saja, dari perihal keluarga, kuliah, hingga hal remeh-temeh. Serasa tak lengkap tanpa tahu apa yang dia lakukan tiap harinya. Aku menyayanginya.

Perasaan berlebih selalu menampakkan wujudnya yang lain. Gejala kecil mulai menguap satu persatu. Saat tak sempat berkirim pesan, gelisah bergemuruh. Ponsel tak aktif, cemas menguasai. Membaca status di dunia maya menggelitik rasa cemburu. Aneh. Riak-riak rasa seperti ini wajar tapi tak mengenakkan hati.

Aku tak punya alasan untuk menuntut berlebih seperti itu. Dia telah memiliki pacar. Hubungan mereka sudah empat tahun lebih. Waktu yang tak pernah kucapai semenjak aku berpacaran. Paling lama enam bulan dengan skala putus-sambung. Aku merasa berat dan bersalah telah menjadi onak dalam kisah mereka. Tapi perasaan selalu berkata lain dan tak mengindahkan rambu apapun. Ya, aku terlanjur menyenangi sosoknya. Cara dia bertutur begitu menyejukkan hati. Kunantikan selalu saat dia berbicara ditelepon dan mendengar cerita dan cekikannya.

Disela-sela kerjaan yang menumpuk dan deadline yang merepresi otakku, selalu kusempatkan menengok fotonya di folder rahasia komputer kerjaku. Foto yang dia kirim melalui email dan sengaja kusimpan tersembunyi karena tak ingin orang lain melihatnya ketika membuka komputer. Hanya aku yang bisa menikmatinya. Foto-foto itu telah menjadi oase baru bagi rasaku yang kehausan. Semakin berat kerjaanku, semakin sering kubuka folder itu.

Pernah suatu ketika aku ditelepon seorang lelaki yang mengaku pacarnya. Lelaki itu berbicara dengan tergesa dan kutahu dia sedang emosi. Lelaki itu menanyakan hubunganku dengan pacarnya. Aku menjawab dengan santai kalau kami hanya relasi kerja saja, dia mengirimiku naskah novelnya untuk aku edit. Lelaki itu menitipkan beberapa pesan agar tak mengganggu hubungan mereka, lalu dia menutup telepon.


Hal yang sudah kuduga sebelumnya bahwa resiko menyenangi gadis yang sudah punya pacar memang seperti itu. Kita harus siaga setiap waktu untuk bermain kucing-kucingan.

Apakah aku salah karena menyayangi orang yang telah berpacaran. Apakah perasaan dapat dicabut dari akarnya yang begitu kuat mencengkeram lubuk jiwa. Apakah untuk menyayangi mesti dengan gadis yang berstatus single saja. Siapa yang pantas mencintai dan dicintai. Bukankah rasa tak mengenal hal semacam itu. Cinta hanya tumbuh mengikuti gerak rasa. Mungkin aku memang bersalah telah mengganggu hubungan mereka.

***

Seperti penghujan yang tak kunjung usai, masalah pun datang beriringan. Setiap berbicara ditelepon selalu saja pertengkaran kecil menginterupsi. Topik pembicaran mulai berulang. Sejak lama dia tak menyenangi sikapku yang keras, yang selalu berpanjang-lebar menanyakan hal-hal yang tak kusenangi. Menginterupsi dengan tiba-tiba saat dia sedang berbicara. Aku tipikal kebalikan dari dirinya. Juga kebalikan dari pacarnya itu. Aku tak bisa bersikap manis dan lemah-lembut seperti pacarnya. Dia selalu menuntut itu. Bukannya aku tak bisa, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Tidak berpura-pura bersikap manis hanya untuk menyenangkan orang lain. Tegas dan jujur menurutku lebih baik daripada kepura-puraan yang manis.

Terlalu naïf untuk mengharapkan orang menjadi seperti yang kita inginkan tanpa mau melihat dan memahaminya. Terkadang kita terlalu selfish dan tidak memedulikan hal lain. Jika ingin dimengerti maka pahamilah orang lain. Karena apa yang kita rasakan dan dapatkan merupakan refleksi dari laku kita juga.

Dia tak pernah memercayaiku sepenuhnya. Setidaknya itu kesan yang kutangkap selama ini. Menurutku itu wajar saja karena kami tak pernah bertemu sama sekali. Hubungan ini dibina dari jarak sepersekian centimeter dari layar monitor dan begitu intim lewat obrolan telepon. Tentunya kami sama-sama mengharapkan pertemuan itu segera. Ada rindu yang menanti untuk dituntaskan.

Sejak awal aku sudah berbicara padanya kalau ingin menjalin hubungan dengan serius. Juga aku telah mengajaknya menikah berkali-kali. Dia selalu menjawab sederhana—biarlah takdir yang menentukan. Ya, aku selalu percaya takdir, namun sebuah ikrar lebih kuat dari apapun. Aku ingin punya pegangan agar tak rubuh saat badai menghantam.

Dia selalu merasa cemburu dan marah saat mendapati komentar untuk teman perempuanku di jejaring sosial. Juga ketika membaca beberapa pesan. Aku selalu menampiknya dengan kelakar dan penjelasan sewajarnya. Aku memang memiliki banyak teman, tidak hanya di dunia maya. Aku orang yang mudah mengakrabi orang dan ketika berbicara dengan mereka begitu santai. Aku selalu memanggil mereka dengan sapaan manis. Sekedar untuk lebih dekat dan mengobrol asyik. Tapi bukan berarti bermesra-mesraan dengan mereka. Hal yang sangat wajar menurutku. Namun dia selalu mempermasalahkan hal itu—tentang keakrabanku dengan teman-teman.

Aku menyadari hubungan jarak jauh selalu menimbulnya gejala semacam itu. Aku selalu berusaha untuk bisa mempertahankan hubungan ini. Tidak hanya empat tahun tapi sepanjang usia kami.

Sekarang hubungan kami sudah bubar sebelum sempat bertemu. Tapi tetap kujalin komunikasi. Karena aku tetap berharap untuk bisa menjalani hidup bersamanya.

***

Aku dibangunkan dering telepon. Segera kutengok siapa yang meneleponku sepagi ini. Dari monitor kulihat nama adikku yang bungsu dan segera kuangkat. Dia berbasa basi menanyakan kabarku lalu berkata kalau Ibu ingin berbicara denganku.

“Halo, Bu…” sembari menguap.

“Halooo… Kapan kau bawa calonmu ke rumah?


Aku diam. Telepon kumatikan.

Segera kuketik pesan hendak memberi tahu Tari perihal ini. Tapi gagal. Pulsaku habis.[]

Categories:

2 Responses so far.

  1. hayuuu,, siapakah itu???
    kenalin donk maz,,, ;)

  2. diwan says:

    ..HaHiHuHeHo..

    ..seseorang yang--mungkin--telah bahagia dengan hidupnya :)

Leave a Reply