PAGI-PAGI BUTA AKU SUDAH BANGUN. Setelah mencuci muka segera menuju ke dapur untuk melakukan aktivitas rutin. Hal pertama yang kulakukan adalah mencuci piring bekas perjamuan, karena semalam tak sempat lantaran kelelahan mengantar ibu-ibu kompleks pulang setelah arisan usai. Hampir setengah dua belas saat kutemukan Ibu terbaring di atas sofa ruang tamu menungguku pulang mengantar. Tak tega rasanya membangunkan ibu untuk menemaniku membereskan sisa-sisa perjamuan, segera kuangkat tubuh ibu menuju kamar. Peluh mengucur lewat pori-pori, tubuh ibu begitu berat. Terang saja, berat ibu sepadan dengan satu karung beras lima puluh kilogram, tinggi seratus enam puluh lima, jadi cukup menguras keringat untuk mengangkatnya ke lantai dua tempat kamarnya berada. Setelah merebahkan tubuhnya di atas springbed dan membungkusnya dengan selimut bulu domba warna putih, sekilas kuperhatikan wajah ibu yang tampak kelelahan.
Ibu memang cantik. Kulitnya putih bersih seakan tak ada goresan, hidungnya mancung seperti artis Julia Robert—pemeran utama wanita di film Pretty Woman. Alis dicukur agak tipis, matanya bulat dengan tatapan sendunya yang aku sendiri bahkan tak kuat berlama-lama menatapnya. Rambutnya sebahu sedikit pirang—katanya buyut Ibu keturunan orang Belanda, sisa penjajahan dulu. Pinggulnya besar, bagus untuk melahirkan kata orang-orang tua. Dadanya masih padat layaknya gadis umur dua puluh empat, namun sedikit berisi—pantas saja Ayah selalu berlama-lama dikamar berduaan dengan Ibu ketika sempat kembali dari tugas diluar kota.
Usai mencuci piring, giliran memanaskan air. Ibu senang mandi air hangat saat pagi, apalagi sehabis capek seperti ini. Dua ember cukup karena nanti akan dicampur dengan air dingin agar suhunya tidak terlalu panas, hangat kuku. Pernah suatu ketika aku lupa mencampurkan air dingin ke tempayan tempat Ibu mandi, badannya merah seperti kepiting rebus dan kulitnya sedikit mengelupas. Aku kasihan pada Ibu dan merasa bersalah, sejak saat itu aku selalu mencelupkan jari ke dalam tempayan untuk memastikan kalau airnya sudah dicampur. Pagi ini sarapannya sedikit berbeda dari menu kemarin—nasi goreng, dengan sedikit variasi yang kupelajari dari buku resep milik Mbok Minah pembantuku. Sebenarnya Ibu lebih ahli dalam memasak, tapi tak tega rasanya membiarkan tangannya teriris pisau dapur apalagi sampai bau bawang menempel hingga membuat kepalanya pening.
Rutinitas seperti ini baru kujalani tiga minggu terakhir sejak Mbok Minah pulang karena anaknya sakit di kampung.
***
NAMAKU ILMAN. Kuliah disalah satu kampus ternama di kota ini, masuk dengan pilihan pertama pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru jurusan Arsitektur. Mungkin aku salah satu orang yang beruntung karena tidak mesti bersusah-susah untuk ikut ujian seleksi sampai dua atau tiga kali. Sejak pertama menginjakkan kaki di kampus ini, entah sudah berapa banyak wanita yang pernah kupacari. Kata seorang teman, aku mirip dengan bintang film ternama ibukota. Kulit sawo matang, rambut cepak yang selalu tersisir rapi dengan minyak rambut impor kiriman pamanku dari Paris.
Namun semenjak peristiwa dua tahun lalu menimpaku, rasanya segala kemampuanku hilang begitu saja. Tak ada lagi senyum yang selalu menghiasi bibirku. Vira. Ya, itu nama wanita yang pernah menari-nari dalam setiap desahan nafasku. Sosoknya yang anggun bak oase di padang gersang. Tapi kejadian malam itu membuat segalanya hancur berkeping-keping hingga tak menyisakan asa. Semuanya berawal ketika hujan tiba-tiba mengguyur kami yang sedang dalam perjalanan pulang. Karena hujan sangat deras akhirnya kami memutuskan untuk berhenti berteduh di sebuah tempat. Hingga lewat tengah malam hujan tak kunjung reda. Tempat yang kami singgahi ternyata tidak berpenghuni. Semacam gubuk yang hampir rubuh karena tidak terurus. Kami menginap di tempat itu. Berdua saja.
Dua bulan kemudian kuketahui bahwa Vira mengandung janinku. Aku siap bertanggung jawab meski dalam kondisi apapun. Tapi keadaan semakin memburuk, ayah Vira memaksa menggugurkan kandungannya. Hal ini membuat aku dan Vira shock, tak tahu mesti berbuat apa.
***
HARI INI, SABTU. Adalah waktu yang sering kami gunakan untuk berlibur bersama keluarga. Hampir sebulan ayah tak kembali dari Palangkaraya. Mesti menyelesaikan beberapa proyek lagi. Dengan senang hati kutemani Ibu berbelanja persedian bulan ini di sebuah swalayan dekat kantor dinas sosial. Setelah selesai, sebelum pulang kami menyempatkan untuk singgah sebentar di butik langganan Ibu. Di sebuah manekin terpajang gaun berwarna merah maroon dengan renda melingkar di bagian pinggangnya. Spontan kutawari Ibu untuk membeli yang itu saja.
“Pasti Ibu tampak anggun dengan gaun itu” bujukku pada Ibu.
Dengan sekali anggukan segera kupanggil Mbak penjaga butik untuk membungkus gaun pilihan kami. Kemudian menuju kasir untuk membayar.
“Berapa mbak ?”
“Lima ratus dua puluh lima ribu rupiah”
“Lho, kok mahal skali mbak?” tanyaku kaget.
“Ini dari bahan sutera mas, makanya harganya mahal!!” jelas kasir sedikit tegas.
“Tidak apa-apa, Man. Silahkan dibungkus mbak” Ibu menimpali sambil memberi uang.
Kami segera pulang kerumah. Lelah rasanya berbelanja hampir seharian, tapi karena bersama dengan Ibu semuanya tergantikan. Lima belas menit kami sudah sampai. Setelah kupastikan bahwa tak ada lagi barang yang ketinggalan didalam mobil, langsung masuk kerumah kemudian menuju lantai dua. Ke kamar Ibu. Sesampainya di kamar Ibu, kurebahkan badannya diatas springbed. Karena udara panas segera kusetel kipas angin, tombol nomor dua cukup dingin untuk kamar seukuran empat kali enam.
Setelah meletakkan belanjaan di dapur, Ibu menyusulku ke kamar. Segera mengeluarkan gaun dari plastik pembungkus untuk mencobanya. Tanpa sungkan Ibu menanggalkan baju dan celana bahan spandex yang tadi dipakai berbelanja. Aku terkesima. Ini kali pertama aku melihat tubuh elok Ibu. Mataku nyalang. Segera saja Ibu memasang gaun yang tadi kami beli dan memintaku untuk menarik resleting di punggung bagian atas. Sedikit kusentuh punggung Ibu. Mulus.
Lalu Ibu membalikkan badannya ke kiri dan kanan dan berputar.
“Gimana, Man. Bagus nggak?”
“Perfect!” tukasku.
“Ayahmu pasti suka” sambil tersenyum.
Jangankan ayah, aku saja begitu terkesima melihatnya. Ibu cantik sekali. Aku membayangkan Vira yang memakai gaun itu. Pasti ia akan terlihat seperti bidadari di hari pernikahan kami. Aku menerawang.
“Man, kok melamun? Kamu jatuh hati melihat Ibu ya…”
“Ah, Ibu bisa aja. Nggak ada apa-apa kok, Bu”
Ibu duduk disebelahku lalu merebahkan tubuhnya. Aku ikut rebah di sampingnya. Ibu menyisir rambutku dengan jemarinya yang lentik. Tentram menguasai batinku. Beberapa lama kami menghabiskan waktu mengobrol tentang banyak hal, ayah yang telat pulang, kuliahku yang tak kunjung kelar, sikapku yang banyak berubah sepeninggal Vira dan obrolan kecil yang kadang membuat kami cekikikan. Sesekali terdiam dan saling tatap. Tertawa lagi dan diam. Aku sangat menikmati kondisi ini. Ibu memelukku. Panas menjalari tubuhku dan darahku berdesiran.
“Bu, boleh aku mencium, Ibu?”
“Mmm… ya bolehlah. Memangnya kamu mau mencium apanya Ibu?’ sambil mengerlingkan mata.
Kadang Ibu bersikap genit disaat-saat tertentu. Dan itu yang membuat kami serasa teman sebaya. Semenjak ayah sering keluar kota, Ibu kesepian. Saat berangkat kuliah, Ibu tinggal di rumah berdua dengan Mbok Minah. Tapi sekarang Mbok Minah pulang ke kampung, kami berdua saja menunggui rumah besar ini. Aku tak tega meninggalkan Ibu sendirian di rumah.
Aku mencium kening Ibu. Kedua pipinya. Ibu balas menciumku. Kami larut dalam suasana.
***
DUA BULAN KEMUDIAN. Suatu pagi Ibu menggedor pintu kamar dan memanggil namaku. Sontak aku terbangun dan membuka pintu kamar. Kudapati Ibu persis di depan pintu dengan daster biru toska. Matanya berbinar dan bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu.
“Ada apa, Bu?” tanyaku panik.
“Man, Ibu hamil”
Ibu memelukku. Erat sekali. Aku tak bisa berkata-kata lagi dan kupeluk tubuh Ibu dengan erat. Pikiranku menerawang jauh melewati kisi-kisi jendela kamar. Ibu akan punya anak. Aku senang berbaur bingung dan sedih. Banyak tanya yang hilir mudik di kepalaku. Kenapa Ibu bisa hamil? Bagaimana perasaan ayah saat ia tahu kalau Ibu sedang hamil?
“Kamu kenapa, Man? Kok bingung seperti itu?”
“Anu..anu…” aku tergagap.
“Jangan khawatir, Ibu takkan memberitahu ayahmu”
“Tapi, ayah harus tahu, Bu!”
“Nanti saja kalau ayahmu pulang, biar tak mengganggu kerjaannya”
Perasaanku mulai tenang. Ibu benar, jangan sampai berita ini mengganggu konsentrasi ayah. Lagipula seminggu lagi ayah balik dari Palangkaraya. Semoga ayah tak menuduhku menghamili Ibu. Ayah selalu menasehatiku sesaat sebelum berangkat keluar kota kalau aku harus menjaga Ibu dengan baik dan tak berbuat hal yang memalukan keluarga. Ayah pernah berkelakar bahwa jangan sampai aku menghamili anak orang lagi, apalagi sampai menghamili Ibu. Kami bertiga pasti akan tertawa setelah ayah mengulang kelakar itu sehabis sarapan.[]