ima{jin}arium



DIA DATANG LAGI. Sinar matanya seakan merobek kornea mataku saat bertatapan dengannya. Wajahnya berlumuran darah dan bau tubuhnya bak bangkai anjing. Perawakannya besar. Tingginya sepadan pohon belimbing wuluh samping rumah dengan bulu kasar yang tumbuh hampir di semua bagian tubuhnya. Ini untuk kesekian kalinya dia mendatangi setiap tidur malamku. Hampir setiap malam. Hingga aku tak tahu sudah berapa butir obat tidur yang kutelan agar dapat lelap. Kata seorang teman aku mengidap semacam penyakit susah tidur—Insomnia.

Mungkin. Tapi menurutku ini aneh, karena baru tiga minggu belakangan aku mengidapnya padahal sebelumnya tidurku sangat lelap.

Memang. Hidupku kurang teratur. Makan hampir tidak setiap hari, mandi jarang—paling hanya menyikat gigi, celana jeans lusuh tak terganti, hanya dua buah T-Shirt yang dipakai bergantian tanpa sempat mencucinya terlebih dahulu. Gambar orang yang mengangkat tinju tangan kirinya dan megaphone pada tangan kanannya yang berada pada bagian depan pun tak lagi secerah ketika baru pertama kubeli. Ini bukan hal baru yang kulakukan, tapi sejak lama ketika pertama kali aku berubah status menjadi seorang mahasiswa.

Kata orang mahasiswa memang begitu, hidupnya serba tidak teratur. Tidak juga. Buktinya, Joe—teman seangkatanku, setiap hari ke kantin dan memesan menu favoritnya—nasi campur spesial ditambah sebotol coca-cola, yang harganya cukup untuk jajanku tiga hari. Badannya selalu wangi bau parfum luar negeri yang harganya setara harga membeli dua buku bertema sosial yang dijual toko buku milik sebuah komunitas dekat kontrakanku. Setelan skinny jeans dan kaos distro senantiasa membalut badannya yang tegak dan kulitnya yang putih bersih mirip orang peranakan. Kehidupannya sangat enjoy, seakan tak ada masalah.

Hal lainnya, bahwa memoriku sudah dipenuhi berbagai hal. Tak ada lagi cluster yang masih empty, semuanya sudah full. Mulai dari masalah pribadi sampai masalah yang ada di sekitar, rakyat yang susah makan, pemerintah yang kerjanya menindas, harga barang yang terus naik, dosen yang unqualified untuk menjadi pendidik, sebagian mahasiswa yang apatis, etc. Sok idealis, memang. Tapi saya kira kita tidak bisa terlalu egois, meski setiap orang memiliki potensi egois. Hanya saja sifat egois itu mesti proporsial.

Terlalu picik jika tiap hari hanya memikirkan bagaimana style kita supaya bisa mengikuti trend dan dikatakan fashionable. Kita mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan sementara di tempat lain banyak orang yang susah untuk memperoleh bahan kebutuhan sehari-hari. Tidur kita tetap lelap meski diluar sana sedang terjadi penindasan atas nama kekusaan. Dan masih banyak persoalan yang kita hampir lupa kapan dan bagaiman itu terjadi, karena terkadang kita cenderung mengabaikannya.

Itu sekelumit masalah yang mungkin menjadi penyebab kenapa aku susah tidur, bahkan untuk sekedar memejamkan mata. Tapi, walau bagaimanapun semuanya tetap harus dijalani, bukan untuk diratapi.

Dia datang lagi. Kali ini dengan sosok berbeda.[]



Categories: ,

One Response so far.

Leave a Reply