ima{jin}arium



HARI sudah malam ketika aku sampai di rumah kontrakan, kutemukan teman-teman di ruang tengah. Ada yang menonton acara reality show di televisi, ada yang membaca buku, dan sebagian lainnya tengah asyik dengan laptopnya masing-masing. Bermain game dan mengerjakan tugas kuliah dari dosen yang kadang tidak masuk akal. Aku ikut nimbrung bersama mereka, ikut tertawa menyaksikan acara di televisi yang sangat konyol.


“Assalam, slamat malam bro…Pakabar? Btw, kapan ke pondokanku? Sorry kemarin msh di kampung”

SMS baru saja kuterima dari seorang teman lama, teman sejak SMA dahulu. Namanya Riska. Ya, kemarin aku memang menghubunginya hendak meminjam printer untuk tugasku. Segera kubalas pesan singkat tersebut.

“Wassalam…aku baik2 sj. Soal kemarin itu ndak apa2 koq, santai saja..Sbntr br ke pondokanmu, km ada kan?”

“Jam brapa k sni bro? Blumpi ka mkan, sm2 meq nah..”

“Sekitar jam 7..tunggu sj, ok?”

“20 mnit lg jam 7..Awas ikuti jammu yg lelet..!!”

“Astaga…kita kenal sdh 8 thn, kpn aku pnh mengingkari janji? Pokokx sblm jam 7, aku sdh sampe di pondokanmu!”

Sepertinya dia sangat lapar hingga mengancamku seperti itu, atau mungkin saja dia kangen berat sama aku ingin cepat-cepat bertemu.

Riska. Sebenarnya kami berkenalan sejak SMP tapi baru akrab ketika masuk SMA, terlebih pas kelas 2 saat menjadi pengurus OSIS dan dia salah satu koordinator bidang di kepengurusan waktu itu. Kami semakin akrab meski beda kelas, karena setiap kegiatan OSIS pasti ketemu. Dia orangnya pendiam dan sedikit senyum, tapi kalau sudah akrab dia bisa lebih cerewet dari siswi tercerewet di sekolah kami.

Kutengok jam di HP, pukul enam lewat empat puluh sembilan menit. Aku berhitung, perjalanan sekitar lima menit ke pondokan, artinya aku tiba enam menit lebih awal dari waktu janjian. Karena motorku tidak aku bawa kemari, makanya aku pinjam motor teman.

Perhitunganku tepat. Aku sampai di pondokan sekitar pukul enam lewat lima puluh empat menit lebih beberapa detik.

Sesampainya disana aku duduk dan mengobrol sebentar kemudian keluar untuk mencari makan. Di atas motor aku bertanya padanya kalau dia mau makan dimana, lantas dia bilang kalau terserah aku saja karena dia tahu kalau aku tidak makan daging.

“Memangnya kamu mau makan apa sebenarnya?

“Maunya sih makan bakso, tapi karena kamu ndak makan daging..jadi makan yang lain saja”

“Ah, ndak apa-apa kok..Kita pergi makan bakso saja, okey?”

“Terserah…”

Kami pun menuju ke warung bakso favoritnya, sekitar lima ratus meter dari pondokan tempat tinggalnya. Untung saja menunya tidak hanya bakso, ada gado-gado dan pangsit.

“Saya pesan bakso, kamu?”

“Mm..Pangsit saja!”

Karena ukurannya kecil, di warung itu hanya ada dua meja dan bangku sederhana. Yang satunya sudah penuh jadi kami duduk di sebelahnya yang masih kosong. Tak lama pesanan datang. Tapi, aku lupa kalau pangsit ternyata ada taburan daging ayam yang di iris kecil-kecil. Jadi kutawari Riska untuk mengambil dagingnya, untungnya dia bersedia.

Di depan kami kemudian duduk dua orang, laki-laki dan perempuan. Sejak awal mereka datang, dua pasangan itu saling berbicara dengan suaranya di tekan, berbisik. Mereka begitu akrab, dalam hatiku menggumam kalau mereka pasti pacaran. Riska sibuk dengan makanannya sendiri, sesekali menyeka keringatnya yang mulai mengalir karena menikmati lezatnya.

Selesai makan kami langsung pulang menuju pondokan. Diatas motor kami bercakap-cakap sambil melihat jalan di sekitar. Sebelum berbelok masuk ke lorong tempat pondokan, tanpa sengaja kami menangkap cahaya dari balik pepohonan. Purnama.

“Deh..cantiknya…Ndak usah masuk dulu, kita menonton purnama dulu nah?”

“Okey, tapi kayaknya kita harus cari tempat yang pas supaya bisa menikmatinya…”

“Coba di depan sana, mungkin bisa lebih jelas..”

Dengan mengendarai motor, kami pun terus bergerak ke depan untuk mencari posisi yang pas menonton purnama. Beberapa kali kami berhenti kemudian lanjut lagi mencari tempat yang paling pas. Karena sibuk mengejar purnama, tak terasa kami sudah memasuki daerah kampus jalan menuju danau. Mata kami terus mengikuti cahaya purnama, kadang dia bersembunyi di balik pepohonan, kemudian muncul lagi, bersembunyi, muncul, dan akhirnya kami mendapat posisi yang tepat.

Ya, tepat di tepi danau kampus. Di situ ada tempat menyerupai dermaga kecil yang terbuat dari potongan balok ukuran besar. Dermaga kecil itu sering di gunakan orang untuk memancing, tak sedikit pula yang menjadikannya tempat bermesraan dengan pasangannya. Tidak siang, tidak malam.

Kebetulan di situ ada orang yang memancing jadi kami memilih untuk duduk di trotoar tidak jauh dari dermaga kecil itu.

“Indah sekali…”

“Sangat romantis”

“Sejuk rasanya hati ini bisa menyaksikan purnama yang sangat jarang kita temui, apalagi di musim penghujan seperti ini”

“Ya, hujan berbaik hati malam ini, memberi kesempatan pada purnama untuk memancarkan auranya…”

“Pasti sangat romantis kalau kita menonton purnama bersama orang terkasih..”

“Betul”

Kami terus saja berbicara satu sama lain, tentang purnama, malam, bintang, dan orang-orang yang kami sayangi. Karena tak mau egois, aku menarik HP dari saku dan menulis pesan singkat.

“Slamat malam, sekarang keluar dari rumah dan menataplah ke langit!”

Aku hendak memberi kabar untuk orang-orang yang kurasa akan berbahagia menikmati purnama. Ada sekitar sepuluh orang dari daftar kontak yang pasti belum tidur. Pesan terkirim.
Tak lama kemudian pesan masuk di HP-ku, balasan dari orang-orang yang kukirimi tadi.

“Aku tlah menatap langit..ada apa disna?”

“Knp? Nda ada pa2..”

“Iya, aku skrg di teras tp ga ada apa2..apa mksdx?”

Semua yang kukirimi menjawab hampir serupa. Tak melihat purnama. Kasihan sekali mereka tak bisa menikmati cantiknya purnama malam ini. Atau mungkin purnama hanya nampak di atas danau ini? Pesan datang lagi…

“Hhh..aku tdk mliht bulan disini..Ssuatu mgkn menghlangi pndanganku…entahlah..”

“Sy hanya liat pluhan bintang yg akan sgra brsembunyi d blk awan kelabu..tak ada purnama itu..”

Jangan heran kalau banyak yang tak melihat purnama, sebab terlalu banyak gedung-gedung tinggi yang berdiri dengan pongah memenuhi kota. Gedung-gedung itu menghalangi pandangan mata, dimana-mana yang terlihat barisan ruko. Ditambah lagi asap yang mengepul dari cerobong pabrik industri dan knalpot kendaraan yang setiap harinya mencemarkan udara.

Lama aku menonton purnama, satu jam lebih lewat. Karena takjub akan anggun purnama, kami hemat bicara, hanya sesekali sekedar berkomentar.

Setahun ini, purnama malam ini adalah yang terindah. Bayangkan, selain purnama malam ini ada banyak gemintang, tapi gemintang menjauh dari purnama. Mungkin dia malu karena aura purnama mengalahkan sinarnya.

Setelah hampir dua jam kami memutuskan untuk kembali karena malam semakin larut. Meski kami tak pernah benar-benar puas menyantap aura purnama, tapi kami mesti pamit segera. Kami pun beranjak pulang, menyusuri ruas jalan, namun purnama mengikuti kami. Motor kupercepat lajunya, tapi semakin cepat kami melaju semakin cepat pula purnama mengejar kami. Mungkin saja purnama tak rela kami tinggalkan sendirian atau mungkin purnama mau ikut dengan kami pulang.

Mataku awas memperhatikannya, purnama diam saja. Tetap mengejar kami. Karena lelah terus di kejar, akhirnya aku menghentikan laju motor. Kemudian kucari posisi yang pas supaya bisa bertatapan langsung dengan purnama.

Aku menatapnya dalam dan mengucap selamat tinggal.[]

--Wesabbe 16 Februari 2009



Categories:

Leave a Reply