ima{jin}arium


Saya tidak tahu kenapa semalam saya begitu emosional menghadapimu. Mungkin karena kau menjejaliku dengan pertanyaan yang tak semestinya. Ya, tak semestinya.

Kemarin, kau kukirimi pesan singkat ke telepon seluler memberi tahu kalau iklan yang kita buat untuk menjual buku dan dipasang di akun facebook-mu itu akan membubuhkan nomor telepon untuk dikontak. Saya bertanya perihal itu, apakah akan memasang nomormu atau tidak? Lalu kau membalas pesanku kalau memakai nomorku saja. Waktu itu saya langsung berpikir kalau kau tidak ingin nomormu diketahui orang banyak. Saya maklum. Bagus.

Lalu saya dengan penuh keyakinan memasang nomorku sebagai kontak informasi pemesanan buku.

Malamnya, kita saling berkirim pesan dan bertanya satu sama lain tentang beberapa hal. Kabar. Keadaan. Aktivitas. Lainnya.

Menjelang tengah malam kau menelponku dan kita bercerita banyak hal. Meski sesekali diinterupsi oleh sinyal dan kemudian memutuskan percakapan kita. Kita asyik menikmati obrolan tentang kita dan orang-orang yang kadang bersinggungan dengan kita. Cukup lama kita larut dalam obrolan hingga akhirnya bersepakat mengakhirinya. Katamu mau menonton film.

Sesaat kemudian telepon selulerku bergetar, pesan darimu. Kau mengabarkan kalau mau online karena belum mengantuk. Bersamaan dengan itu, saya tengah membuka akunmu di Facebook, sekedar untuk melihat iklan yang kita pasang lewat akunmu. Barangkali saja sudah banyak yang memesan buku. Tiba-tiba kau menelponku dan dengan suara mendesak menanyaiku apakah sedang membuka akunmu. Ya! Menjawab pertanyaanmu dan kau menutup panggilan tiba-tiba.

Setelah itu, saya membuka akun sendiri. Hendak mengobrol denganmu dan bertanya beberapa hal. Sebenarnya ingin menelponmu tapi tak punya pulsa. Pesan singkat kadang tak sampai, kalau sampai pun membutuhkan beberapa menit atau bahkan berjam-jam kemudian. Padahal saya begitu bersemangat untuk bertanya. Kita terhubung lewat fasilitas chating facebook. Kau mengirimiku pertanyaan. Aneh. Saya tak melakukan hal yang kau tanyakan itu. Sama sekali. Karena merasa terpancing dan sedikit emosi dengan pertanyaan itu, kujejali kau dengan banyak pertanyaan pula. Kau menjawabnya singkat. Kemudian kita bersepakat untuk tak membahasnya dan menawarkan topik lain untuk diobrolkan. Obrolan kita singkat saja. Nyaris.

Kemudian kau menelponku lagi. Saya bertanya kenapa menelpon dan kau mengatakan ada masalah baru. Kau memprotes karena membubuhkan nomor teleponku di iklan buku itu. Saya mulai bingung. Bukankah kau yang mengiyakannya? Atau saya yang salah tafsir atas pesanmu itu? Tapi, saya betul-betul mengira kalau kau mengatakan bahwa nomor kontak di iklan itu memakai nomorku saja. Saya salah paham. Kau marah. Katamu ada seorang teman menghubungimu dan menanyakan perihal iklan itu, bertanya kenapa kau memakai nomor baru lagi dan ternyata itu nomorku?

Masalah.

Saya mengakhiri pembicaraan dengan segera untuk mengecek iklan itu, bermaksud menghapus nomor kontak dari akunmu. Dan ternyata sudah terhapus.

Kau menelpon lagi. Kau mengatakan kalau masih ada nomor kontak di akun teman lainnya yang di tandai namanya. Saya tidak terlalu paham. Saya berpikir kalau sudah dihapus di akunmu itu berarti semuanya telah terhapus secara otomatis. Ternyata tidak.

Perbincangan selanjutnya, kau menanyaiku kenapa mengatakan kata "sundala" sebelum menutup telpon tadi. Tapi saya tak ingin membahasnya karena itu tidaklah penting. Hanya ekspresi-emosional belaka. Kita semakin larut dalam perdebatan dan menyulut emosi. Saya tak terlalu senang dengan pertengkaran macam itu. Lalu mengatakan bahwa kalau kau tidak memercayaiku lebih baik kita "putus" dan mengakhiri hubungan kita. Kau menjawab "setuju" dan mematikan telponmu.

Setelahnya. Saya menghubungimu lewat pesan singkat tapi tidak terkirim. Mungkin saja telponmu dimatikan jadi tak bisa masuk pesan yang kukirimkan. Padahal saya mengirimimu pesan untuk minta maaf dan mengatakan kalau perkataanku itu hanya ekspresi-emosional dan tidak benar. Saya tidak ingin memutuskan hubungan kita. Sejujurnya saya mengatakan kata "putus" itu hanya sekedar mengancam supaya kau berhenti marah dan bertengkar. Tapi kau menanggapinya dengan sangat serius. Ya, itu salahku.

Sebenarnya, yang kita pertengkarkan bukanlah hal yang substansial. Kalau masalah nomor kontak itu, bisa kita taktisi. Dengan mengatakan ke orang lain kalau dalam hal ini kita adalah relasi bisnis. Saya sebagai pemasarannya, jadi memakai nomor kontakku untuk memudahkan penjualan. Jadi orang-orang tak berpikir kalau kita "seolah-olah satu" dan tak terpisahkan.

Saya kira seperti itu, dan berharap bahwa kita tak akan mengakhiri hubungan ini.[]

Categories:

Leave a Reply