ima{jin}arium


Aku menyimpan tiga dari empat nomor seluler yang pernah kau sebut. Ketiganya telah kutelpon. Juga mengirim pesan. Berkali-kali.

Dua kali suara diseberang menjawab kau tak ada. Ternyata lelaki yang mengaku kakakmu. Jawabnya tak memberi petunjuk keberadaanmu. Pesan tak satupun yang terbalas. Kau dimana?

Aku selalu menduga kalau kau sedang tidur. Tak mau diganggu. Atau di tempat kerja. Mungkin.

Tapi sebanyak hari yang kuhitung sangat pelan itu, kenapa kau tak hirau. Apa kau terserang amnesia?

Baiklah. Aku akan menulis cerita ini dan kelak bisa membantu ingatanmu. Tentang pertemuan kita yang begitu singkat.

***

Sehari sebelum lebaran tahun ini, aku mengunjungi mall menemani seorang teman untuk belanja pakaian. Setelah membeli selembar celana kami beranjak pulang. Tepat didepan pintu utama mall kami terhenti oleh panggilan seorang gadis dan menawari jam tangan. Sebuah jam tangan berwarna hitam dicelupkan ke sebuah gelas plastik berisi air. “Ini anti air” katanya. Aku meraih jam tangan itu, memeriksa dan memasang di pergelangan. Lalu satu jam tangan dengan model yang sama dicelupkan lagi. Kami memerhatikan atraksi itu sambil memberi penawaran harga. Kita sepakat.

Suara adzan magrib terdengar dari radio di ponsel, waktunya buka puasa. Temanku pamit untuk membeli es kelapa muda. Aku menunggu sambil mencoba jam tangan model lainnya. Gadis itu sangat lincah menjelaskan perihal jam tangan itu. Satu persatu kucocokkan dan kembali ke jam tangan tangan awal yang telah disepakati. Model yang sama dibeli temanku tadi.
Aku membayar jam tangan itu. Sembari mengeringkan dengan ujung baju, gadis itu masih sibuk melakukan promosi. Kami mengobrol sedikit dan bertukar nomor ponsel. Lalu aku menemui teman yang menunggu di depan mall dan kami pulang.

***

Sejak saat itu kami mulai saling berkirim sms. Bertanya kabar dan aktivitas masing-masing. Juga sesekali mengobrol ditelepon.

Tepat di hari kesepuluh sejak pertemuan itu, kami janjian malam minggu bersama. Aku menjemputnya di tempat kerja yang berada di salah satu pusat pertokoan ternama kota ini. Aku menunggu sebentar sambil ia menutup jualannya. Sekitar pukul delapan lewat kami meninggalkan toko sambil mengobrol. Menyusun rencana kemana akan melewatkan malam minggu bersama. Kami tak bersepakat akan kemana karena masing-masing merasa bingung tempat yang asyik untuk bersantai menikmati malam. Di malam minggu, jalan begitu ramai dan semua tempat disesaki warga kota untuk berkencan atau sekedar bersantai.

Kami memotong jalan menyeberangi lalu lalang kendaraan. Lalu memutuskan untuk mampir ke warung bakso pinggir jalan untuk makan malam. Sambil menunggu pesanan datang, aku membuka pembicaraan. Saling menanyai perihal pribadi masing-masing. Pesanan datang, dua porsi bakso dan dua botol minuman dingin.

Sehabis makan kami beranjak dan kembali menyusuri jalan kota yang ramai. Karena tak punya tujuan yang pasti, akhirnya aku mengajaknya untuk mampir disalah satu ikon kota ini. Sebuah ruang publik yang disulap menjadi mall bawah tanah. Kami tidak masuk ke mall tapi menuju ke tanah lapang diatasnya. Disana ada lapangan bola dan tanah lapang yang aku tidak tahu peruntukannya. Meski malam minggu tapi tempat ini begitu lengang. Tidak seperti dulu sebelum menjadi mall. Semua kalangan berdatangan, mulai dari pejabat, anak nongkrong, gepeng, sampai banci-banci ibu kota.

Kami memilih duduk ditepian undakan tepat dibawah tiang lampu sorot yang berada ditengah lapangan. Kami bercerita satu sama lain tentang banyak hal. Dan seperti kencan pertama pada umumnya, yang menjadi topik dominan adalah cerita tentang pengalaman berpacaran. Curhat.
Cukup lama kami mengobrol. Jam tangan menunjukkan pukul sepuluh lewat. Waktunya pulang.

***

Lima belas hari setelah kencan pertama, kami kembali bertemu. Di sebuah pantai, tempat wisata yang ramai dikunjungi orang setiap harinya.

Kami sampai terlalu sore hingga tak dapat menikmati indahnya matahari tenggelam. Hanya sisa temaram yang kami temui. Disana sini orang berseliweran, ada yang bermain pasir, berenang, bergadengan bersama pasangannya, dan beberapa berkemas hendak pulang.

Malam turun. Langit gelap. Udara dingin menyelimuti.

Hingga malam begini orang-orang masih ramai. Banyak yang menyewa pondok untuk menginap. Kami menyusuri garis pantai menuju kearah selatan yang lebih lengang. Di sepanjang pantai banyak kami temui pasangan yang tengah asyik berduaan. Tak jarang pula ada bercumbu dalam gelap. Kami hanya menoleh sebentar dan berjalan lagi.

Setelah cukup jauh berjalan dan suasana amat sepi, kami berhenti dan duduk di atas pasir. Obrolan pun dimulai. Disela serunya obrolan kami, tiba-tiba diinterupsi oleh dering ponsel. Ada yang menelponnya. Dia berbisik dan memberi tahu kalau mantan pacarnya yang menelpon. Lebih dua puluh menit mereka berbicara di telepon. Obrolan kami lanjutkan.

Dua jam berlalu. Obrolan semakin serius. Sesekali kami berdiri dan memandangi laut lalu duduk lagi. Aku memberanikan diri bertanya apakah dia mau menjadi pacarku. Dia bertanya beberapa hal untuk menyakinkan. Lalu kami membuat komitmen bersama. Sekarang kami berpacaran. Resmi. Tanpa kecupan dan dekapan.

Angin bertiup kencang dan bintang hilang satu persatu. Pertanda hujan menjelang. Kami pulang.

***

Aku tak pernah menduga kalau kencan kedua itu akan menjadi pertemuan terakhir. Setiap hari aku mengiriminya pesan dan menelpon tapi tak ada jawaban. Dia menghilang.

Itulah cerita singkat yang bisa aku tuliskan. Aku berharap kelak kau membacanya dan memulihkan ingatanmu. Ingatan tentang kita. Bahwa kita tak pernah benar-benar bersepakat untuk mengakhiri hubungan dan menghilang tanpa kabar.

Dan jam tangan ini masih tetap kukenakan di pergelangan kiriku. Semoga saja kita berpapasang dijalan dan kau mengenalinya. Jam tangan yang kubeli saat pameran di mall tempat pertama kita berkenalan.

Gadis dalam cerita ini adalah kau.[]

Categories: ,

Leave a Reply